Abstract:
Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
merampas atau menghilangkan jiwa orang lain yang mana setiap orang yang
melakukannya akan dimintai pertanggungjawabannya. Akan tetapi di dalam
Undang-undang ada yang mengatur bahwa seseorang tidak bisa dimintai
pertanggungjawabannya yaitu terdapat dalam pasal 44 ayat (1) KUHPidana. Salah
satu kasus yang dijumpai yang tidak dapat dimintai pertanggungjawabanya yaitu
Berdasarkan Putusan Nomor 2353/Pid.B/2018/PN Mdn Bahwa terdakwa yang
bernama Fahrizal, S.I.K merupakan anggota Kepolisian Republik Indonesia
melakukan pembunuhan dengan cara melakukan penembakan terhadap korban
dengan senjata api yang merupakan kepunyaan oleh terdakwa tersebut yang
secara tiba-tiba spontan dilakukan oleh terdakwa kepada korban yang dalam hal
ini terdakwa memiliki penyakit gangguan jiwa berat. Tentu saja dalam ini sangat
menarik untuk dikaji mengingat penyakit sakit jiwa ini merupakan hal yang
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUHPidana. Tujuan penelitian ini untuk
mengkaji modus polri yang melakukan penembakan yang mengakibatkan
kematian, bagaimana penegakan hukumnya dan menganalisa putusan Nomor
2353/Pid.B/2018/PN.Mdn.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum deskripsi dengan
pendekatan yuridis normatif yang diambil dari data sekunder dengan mengolah
data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa modus Polri yang
melakukan penembakan yang mengakibatkan kematian yaitu ia dalam hal ini
dianggap tidak memiliki motif pembunuhan karena ia sedang mengalami
gangguan jiwa berat sehingga melakukan penembakan dengan cara spontan,
sehingga Polri tersebut terjerat pasal 338 KUHPidana. Bahwa dalam penegakan
hukum dalam kasus ini polri tersebut di periksa dalam peradilan umum, sidang
disiplin dan sidang KEPP. Bahwa analisa penulis dalam hal ini majelis hakim
tidak memastikan keadaan yang sebenarnya pada terdakwa pada saat melakukan
penembakan dalam keadaan kambuh atau tidak penyakitnya.