Abstract:
Penistaan agama merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku. Apapun
penyebabnya pesannya adalah bahwa mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang
pada pokoknya dapat menimbulkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia sangat berbahaya, merusak dan
menimbulkan gangguan kesejahteraan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa
dan umat manusia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui latar belakang delik
penistaan terhadap agama dalam peraturan perundang-undangan, delik hukum
penistaan terhadap agama menurut KUHP dan undang-undang ITE serta untuk
mengetahui penerapan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
terhadap tindak pidana penistaan terhadap agama melalui media elektronik.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian
yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yakni diperoleh dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Data yang
terkumpul akan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa latar belakang
delik penistaan terhadap agama dalam peraturan perundang-undangan adalah untuk
mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama,
melindungi ketentraman beragama dari penodaan atau penghinaan dan sebagai upaya
negara untuk mencegah terjadinya benturan umat beragama. Unsur delik penistaan
terhadap agama menurut KUHP dituangkan pada Pasal 156 KUHP, Pasal 156 a
KUHP dan Pasal 157 KUHP yang unsur terpenting adalah menyatakan perasaan atau
melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau kebencian. Sedangkan dalam
UU ITE seperti dimuat dalam Pasal 28 ayat (2) unsur terpenting adalah menyebarkan
informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(sara). Penerapan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 terhadap
tindak pidana penistaan terhadap agama melalui media elektronik adanya pihak-pihak
yang merasa dirugikan, perbuatan tersebut memuat gambar atau tulisan yang isinya
dianggap menghina atau melanggar norma kesopanan dan kesusilaan tentang suatu
agama dan perbuatan yang dilakukan mengandung unsur SARA serta dilakukan di
media sosial.