Abstract:
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan
tolak ukur peradapan bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu
tindakan hukum yang berakibat hukum. Oleh karena itu perlu adanya jaminan
hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepasti. Tujuan dilakukannya penelitian
ini adalah untuk Untuk mengetahui pengaturan pendampingan Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) pada sidang pengadilan terhadap anak korban
kejahatan seksual. Untuk mengetahui pelaksanaan pendampingan Pusat Kajian
dan Perlindungan Anak (PKPA) pada sidang pengadilan terhadap anak korban
kejahatan seksual. Untuk mengetahui hambatan pendampingan Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) pada sidang pengadilan terhadap anak korban
kejahatan seksual.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
yuridis empiris yang menggunankan data primer berupa wawancara dengan staff
litigasi di PKPA dan di dukung oleh data sekunder antara lain bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dipahami bahwa Pengaturan hukum
pendampingan anak ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pada Pasal 69A yang menentukan bahwa Perlindungan
Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:edukasi tentang kesehatan reproduksi,
nilai agama, dan nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial
pada saat pengobatan sampai pemulihan, Adapun tahap-tahap pelaksanaan
pendampingan mulai dari perekruitan klien sampai tahap terminasi tim advokasi
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) berusaha untuk memastikan hakim
memberikan perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat anak, Pemeriksaan
perkara anak dilaksanakan dalam sidang tertutup untuk umum. Ada beberapa
hambatan yang dialami oleh PKPA yaitu kurang nya pemahaman aparat penegak
hukum tentang tatacara kerja sama atas pelaporan, lepas tangannya
negara/pemerintah sebagai fasilitator pelaksanaan pendampingan, kurang lengkap
nya pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses diversi, adanya paradigma
pemerasan dan keuntungan pribadi.