Abstract:
Perdagangan orang kini semakin meresahkan kehidupan masyarakat
terutama kepada kaum wanita dikarenakan modus operandi yang terus
berkembang selalu membelenggu kehidupan wanita selaku kaum yang dianggap
lemah. Salah satu modus operandi yang kerap terjadi terutama di Indonesia adalah
para wanita dipekerjakan untuk eksploitasi seksual dengan kedok spa. Namun tak
sedikit para pelaku yang memperdagangkan wanita dengan modus tersebut lolos
dari tindak pidana perdangan orang dan hanya terjerat atas tindak pidana yang
hampir serupa dengan pidana lebih ringan.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji tentang
pertanggungjawaban pidana perdagangan orang terhadap pelaku yang
memudahkan perbuatan cabul secara bersama-sama. Penelitian ini dilaksanakan
dengan menganalisis satu putusan, yaitu Putusan Nomor
319/Pid.Sus/2016/PN.Mdn yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif
dilakukan berdasarkan data sekunder dengan cara menelaah teori-teori, konsepkonsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian, perbuatan memudahkan perbuatan cabul dan
menjadikannya sebagai pencaharian termasuk bentuk tindak pidana perdagangan
orang dimana seharusnya hakim selaku penegak hukum ditemukan salah dalam
menerapkan hukum untuk menghukum para pelaku yang melakukan tindak pidana
perdagangan orang. Hakim menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dalam memutus perkara tindak pidana perdagangan orang dengan
menggunakan pasal 296 sebagai acuan sementara terlihat jelas bahwa tindak
pidana itu adalah tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang .