Abstract:
Diversi berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak
terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan
mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang
melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam
suatu proses peradilan.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif analitis dengan jenis
yuridis empiris yaitu memadukan bahan-bahan hukum dari data sekunder seperti
bahan kepustakaan dan juga data primer yang diperoleh dari lapangan seperti
wawancara untuk memperoleh secara akurat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui penerapan diversi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak
berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dan Peraturan Mahkamah
Agung No. 4 Tahun 2014 di Pengadilan Negeri.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa Diversi merupakan sebuah
mekanisme baru dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Sistem
restorative justice merupakan alternatif yang dipilih sebagai sistem penyelesaian
perkara pidana anak dengan cara Diversi. Diversi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 6-15 dan didalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak. Hal tersebut disebabkan peraturan sebelumnya dianggap
tidak memberikan perlindungan secara komprehensif kepada anak yang
berhadapan dengan hukum. Faktor penghambat pelaksanaan diversi dalam
menyelesaikan tindak pidana anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah adanya perbedaan persepsi
mengenai makna keadilan oleh para pelaku diversi, baik dari pihak korban dan
keluarganya, pelaku dan keluarganya, aparat penegak hukum, Bagian
Pemasyarakatan, Pekerja Sosial, tokoh masyarakat, psikolog, pendidik dan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang terhadap pelaksanaan diversi.