dc.description.abstract |
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam
lingkungannya yang tidak apat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Di
Indonesia sudah menjadi fokus utama dalam rangka perlindungan hutan. Oleh
sebab itu setiap orang yang ingin memanfaatkan hasil hutan seperti kayu termasuk
mengangkutnya harus dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan, jika tidak
maka pihak tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh kasus tindak
pidana di bidang kehutanan terdapat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
2379 K/Pid.Sus/2015. Pada putusan itu pelaku terbukti melakukan tindak pidana
namun pada putusan tingkat pertama dan banding, putusan tidak sesuai dengan
prinsip sanksi pidana minimal yang tertuang pada Pasal 83 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, dan pada tingkat kasasi majelis hakim
menambahkan putusan percobaan jadi terpidana tidak menjalani hukuman
sebagaimana mestinya..
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui syarat-syarat dan sanksi pidana
bagi pelaku pengangkutan hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi surat keterangan
sahnya hasil hutan serta menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 2379
K/Pid.Sus/2015. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif
yang diambil dari data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa beberapa syarat untuk
melakukan pengangkutan hasil hutan kayu ialah harus dilengkapi surat-surat
perizinan yang dikeluarkan oleh Instansi/pejabat yang berwenang salah satunya
berasal dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selanjutnya diketahui
bahwa sanksi pidana bagi pelaku tersebut bisa dikenakan sanksi pidana penjara
minimal satu tahun dan maksimal lima tahun dan denda minimal lima ratus juta
serta maksimal dua miliar lima ratus juta rupiah. Setelah putusan Mahkamah
Agung Nomor 2379 K/Pid.Sus/2015 dianalisis didapati bahwa terdapat putusan
majelis hakim yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta hakim tidak memperhatikan prinsip pidana minimal
yang tertuang dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. |
en_US |