Abstract:
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dikatakan sah jika dalam
perkawinan tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, sedangkan jika suatu
perkawinan melanggar dan tidak memenuhi salah satu atau beberapa rukun atau
syarat-syaratnya maka perkawinan itu tidak sah dan perkawinaan tersebut dapat
dibatalkan baik oleh para pihak yang telah melangsungkan perkawinan tersebut
maupun pihak ketiga yang berkepentingan. Penelitian ini mengkaji tentang
perlindungan terhadap anak setelah permbatalan perkawinan orang tuanya tersebut,
sehingga agar hak dan kewajibannya terlaksana meskipun perkawinan orang tuanya
putus.
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, sifat penelitian
deskriftif yang menggunakan sumber data sekunder yaitu terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder tersier serta pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang
dituangkan dalam bentuk analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
dibatalkan karena diketahui orang tuanya masih berhubungan darah statusnya jelas
anak sah sehingga anak tersebut berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta
waris, dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan
anak yang belum mummayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak dari ibunya,
dan ia berhak untuk memilih tinggal dengan ayah atau ibunya setelah ia mumayyiz,
namun biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya. Anak tersebut,
mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana halnya anak yang perkawinan orang
tuanya masih ada. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak
tahun 1989 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 36
Tahun 1990 mengatur bahwa hak anak merupakan bagian integral dari instrument
tentang hak asasi manusia (HAM). Kewajiban orang tua tersebut berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban tersebut berlaku terus meskipun
perkawinan orang tuanya putus