Abstract:
Perceraian adalah bagian dari dinamika rumah tangga. Perceraian ada
karna adanya perkawinan. Dalam perawinan suami berkewajiban memberi nafkah
kepada keluarga, ada kalanya suami tidak mampu memberikan nafkah atau suami
sebenarnya mampu tetapi tidak mau menjalankan kewajibannya memberi nafkah
kepada istri dan anak. Dalam perceraian harus disertai dengan alasan-alasan yang
jelas. Suami yang tidak menjalankan kewajibannya, maka istri berhak
mengajukan gugatan perceraian. Pada hakikatnya di Indonesia belum ada aturan
Undang-Undang yang mengatur masalah ekonomi sebagai alasan perceraian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan cerai gugat yang
dapat di kabulkan oleh Pengadilan Agama, mengetahui upaya Pengadilan Agama
Tebing Tinggi dalam mencegah terjadinya cerai gugat karena alasan
ketidakmmapuan suami dalam pemberian nafkah lahiriah kepada istri dan anak,
serta mengetahui Pengadilan Agama dalam menentukan kewajiban suami dan istri
terhadap anak setelah bercerai.
Penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris, sumber data yang
digunakan bersumber dari hukum Islam, data primer dan data data sekunder. Alat
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dengan 3 Hakim
Pengadilan Agama Tebing Tinggi dan bagian Informasi Pengadilan Agama
Tebing Tinggi dan studi dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa alasan cerai gugat yang
dapat di kabulkan oleh Pengadilan Agama yaitu berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan Pasal 39 ayat (2) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. Upaya
Pengadilan Agama dalam mencegah terajdinya cerai gugat berdasarkan Peraturan
Mahkama Agung setiap proses perceraian upaya yang dilakukan hanya mediasi.
Kewajiban suami istri terhadap anak setelah bercerai yaitu berkewajiban
memberikan kasih sayang, perhatian dan terkhusus kepada ayah untuk
memberikan nafkah kepada anak . Dalam hal peceraian dengan alasan
ketidakmampuan suami dalam pemberian nafkah maka dalam semua putusan
cerai gugat dengan alasan tersebut, pihak istri tidak pernah menuntut masalah
nafkah suami terhadap anak. Maka Pengadilan Agama tidak dapat menentukan
berapa kewajiban suami, karena Pengadilan Agama bersifat pasif, apa yang
diajukan itulah yang kami kabulkan