| dc.description.abstract |
Perjanjian merupakan instrumen penting dalam hubungan hukum perdata yang
mengikat para pihak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Namun, dalam
praktiknya sering terjadi pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk pelindungan hukum terhadap
pihak yang dirugikan dalam pembatalan perjanjian dengan menganalisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1051 K/Pdt/2014.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan perjanjian dalam perkara a quo
didasarkan pada adanya wanprestasi yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Pertimbangan hakim Mahkamah Agung menegaskan bahwa keadilan harus diberikan
dengan menempatkan pihak yang dirugikan pada posisi semula melalui ganti rugi
maupun pemulihan hak. Pelindungan hukum yang diberikan meliputi pelindungan
preventif berupa kepastian hukum atas syarat sah perjanjian, serta pelindungan represif
melalui putusan pengadilan yang menjamin pemenuhan hak pihak yang dirugikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung
mempertimbangkan adanya wanprestasi sebagai alasan pembatalan perjanjian. Hakim
menegaskan pentingnya asas kepastian hukum, keadilan, dan keseimbangan agar pihak
yang dirugikan mendapatkan pemulihan melalui ganti rugi dan pengembalian pada
keadaan semula. Pelindungan hukum yang diberikan tidak hanya bersifat represif melalui
putusan pengadilan, tetapi juga bersifat preventif melalui ketentuan syarat sah perjanjian
yang harus dipenuhi sejak awal.
Dapat disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 1051 K/Pdt/2014
memberikan landasan yuridis mengenai perlindungan terhadap pihak yang dirugikan
akibat pembatalan perjanjian, sehingga dapat menjadi rujukan dalam penyelesaian
sengketa perdata serupa di masa mendatang. |
en_US |