| dc.description.abstract |
Perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Republik Indonesia berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
112/PUU-XX/2022 mengundang berbagai perdebatan dan tanggapan dari
masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum. KPK, sebagai lembaga independen
yang dibentuk untuk memberantas korupsi, memiliki masa jabatan pimpinan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Putusan MK yang
memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima
tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan, memunculkan
kekhawatiran akan potensi politisasi dan intervensi politik, yang dapat
mengancam independensi KPK. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
konstitusionalitas putusan MK, implikasi hukumnya terhadap independensi KPK,
serta penerapan asas non retroaktif dalam putusan tersebut.
Jenis penelitian ini adalah normatif. Penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Data yang didapat kemudian diklarifikasikan menurut pokok bahasan
masing-masing, maka dilakukan analisis data agar menginterpretasikan data yang
telah disusun secara sistematis dengan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perpanjangan masa jabatan dapat
meningkatkan efektivitas program pemberantasan korupsi, namun juga berisiko
terhadap potensi politisasi dan intervensi. Selain itu, penerapan asas non-retroaktif
dalam putusan MK menjadi sorotan penting untuk menjaga kepastian hukum.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun keputusan MK memiliki dasar
hukum, dampak sosial dan politik yang ditimbulkan perlu menjadi perhatian
serius bagi semua pihak, terutama dalam menjaga integritas KPK. |
en_US |