Abstract:
Sewa menyewa bangunan merupakan bentuk perjanjian yang lazim terjadi
dalam kehidupan masyarakat, namun tidak jarang menimbulkan sengketa apabila
salah satu pihak, khususnya penyewa, melakukan wanprestasi seperti tidak
membayar sewa, tidak mengosongkan bangunan setelah masa kontrak berakhir,
atau merusak properti. Dalam praktiknya, pemilik bangunan sering kali
mengalami kerugian akibat kelalaian tersebut. Oleh karena itu, penting untuk
memahami dasar hukum wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 dan
Pasal 1243 KUH Perdata serta mengkaji bentuk perlindungan hukum yang dapat
digunakan oleh pemilik bangunan melalui mekanisme gugatan ke pengadilan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan
studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan
yurisprudensi, termasuk Putusan Nomor 617/Pdt.G/2022/PN Mdn. Data dianalisis
secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis untuk mengetahui
bagaimana pemilik bangunan dapat menempuh jalur hukum ketika penyewa
melakukan wanprestasi. Studi ini juga menggali upaya penyelesaian melalui
eksekusi pengosongan (executie vonnis), dengan merujuk pada ketentuan dalam
Buku III KUH Perdata mengenai perikatan dan perjanjian, khususnya perjanjian
sewa menyewa pada Pasal 1548 hingga Pasal 1600 KUH Perdata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan penyewa yang tetap
menempati bangunan setelah kontrak berakhir tanpa izin pemilik termasuk dalam
wanprestasi yang menimbulkan akibat hukum berupa gugatan ganti rugi dan
perintah pengosongan. Dalam Putusan No. 617/Pdt.G/2022/PN Mdn, majelis
hakim menjatuhkan putusan pengosongan paksa serta menetapkan dwangsom
terhadap tergugat. Hakim menerapkan ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata tentang
ganti rugi dan Pasal 1267 KUH Perdata mengenai pemenuhan perikatan atau
penghentian hubungan hukum. Putusan ini selaras dengan asas pacta sunt
servanda dan prinsip keadilan bagi pemilik bangunan sebagai pihak yang
dirugikan.