| dc.description.abstract |
Industri kosmetik di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat yang disertai
meningkatnya kompleksitas dalam sistem distribusi, khususnya melalui perjanjian
distribusi eksklusif antara produsen dan distributor. Perjanjian ini sering kali
menjadi sumber sengketa ketika salah satu pihak melanggar hak eksklusif atau
terjadi perubahan status legalitas produk. Studi ini berfokus pada kasus sengketa
hukum antara PT Amosys Indonesia sebagai distributor eksklusif produk kosmetik
RDL dan pihak lain yang secara ilegal turut mendistribusikan produk serupa.
Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi bagaimana ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur sengketa dalam perjanjian distribusi
eksklusif, bagaimana peran perjanjian tersebut dalam regulasi kosmetik, serta
bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan No. 10/Pdt/2022/PT BTN.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
undang-undang dan studi kasus. Data diperoleh melalui studi dokumen terhadap
putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan yang relevan, lalu
dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian distribusi eksklusif diakui
sebagai perjanjian innominaat yang sah dalam hukum perdata Indonesia, selama
memenuhi syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam kasus
PT Amosys Indonesia, pengadilan mempertimbangkan adanya wanprestasi karena
pelanggaran hak eksklusif oleh pihak lain, serta menyoroti ketidakterbukaan BPOM
dalam mencabut izin edar yang sah. Majelis hakim menilai bahwa perjanjian yang
telah dibuat secara sah memiliki kekuatan mengikat seperti undang-undang, dan
pelanggaran terhadapnya menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban ganti rugi.
Penelitian ini menekankan pentingnya penyusunan kontrak yang kuat, transparansi
dalam proses perizinan BPOM, serta pengawasan regulatif untuk melindungi hak
distributor sah dan mencegah persaingan usaha tidak sehat di sektor kosmetik. |
en_US |