| dc.description.abstract |
Pencabutan hak asuh ibu terhadap anak merupakan suatu tindakan hukum
yang ditempuh apabila ibu dianggap tidak lagi mampu atau layak dalam
melaksanakan kewajiban pengasuhan. Dalam konteks hukum perdata maupun
hukum Islam, hak asuh pada dasarnya merupakan kewajiban orang tua demi
kepentingan terbaik anak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach), yang menelaah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta doktrin dan
literatur yang relevan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut hukum perdata, pencabutan
hak asuh ibu didasarkan pada pertimbangan hakim sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata dan Pasal 156 Huruf C dan 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI), di mana
meskipun anak yang belum berusia 12 tahun pada dasarnya berada dalam
pengasuhan ibu, hak tersebut dapat dicabut apabila terbukti ibu lalai, melakukan
perbuatan tercela, atau mengabaikan kepentingan anak. Sementara dalam hukum
Islam, hak asuh (hadhanah) merupakan kewajiban yang melekat pada ibu, namun
dapat gugur apabila syarat-syarat hadhanah tidak terpenuhi, seperti tidak
berakhlak baik, tidak mampu merawat anak secara fisik maupun psikologis, serta
menikah lagi dengan pria yang bukan mahram anak (ajnabi). Pencabutan hak asuh
ibu berdampak signifikan bagi anak maupun ibu. Bagi anak, hal ini dapat
menimbulkan rasa kehilangan, trauma emosional, serta berkurangnya ikatan batin
dengan ibunya, meskipun di sisi lain dapat memberikan perlindungan apabila
lingkungan ibu dianggap membahayakan.
Dengan demikian, baik dalam hukum perdata maupun hukum Islam, prinsip
utama pencabutan hak asuh adalah kepentingan terbaik bagi anak (the best interest
of the child) sebagai dasar perlindungan hukum dan jaminan tumbuh kembang
anak secara optimal. |
en_US |