Abstract:
Eksekusi putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi merupakan kewenangan
Jaksa jika merujuk hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP). Pasal 270
KUHAP, yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Jaksa adalah pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kewenangan jaksa dalam eksekusi
perkara tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,
mengidentifikasi berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, serta
merumuskan strategi penanggulangan yang efektif. Penelitian ini menggunakan
metode yuridis empiris, yaitu memadukan analisis hukum normatif dengan data
empiris dari lapangan. Penelitian ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.
Metode ini bertujuan untuk memahami permasalahan secara mendalam dan
komprehensif berdasarkan data yang telah dikumpulkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaksa memiliki peran sentral dalam
memastikan keberhasilan eksekusi perkara tindak pidana korupsi, termasuk
penerapan pidana tambahan. Namun, pelaksanaannya kerap terhambat oleh
ketidakharmonisan regulasi, ketiadaan SOP baku, keterbatasan koordinasi antar
lembaga, serta tekanan sosial dan politik yang mengganggu independensi. Untuk
mengatasi hal ini, diperlukan penguatan profesionalisme jaksa, pembentukan SOP
yang jelas, peningkatan koordinasi lintas lembaga, perlindungan hukum bagi jaksa,
dan keterlibatan publik dalam proses pengawasan. Upaya tersebut diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas eksekusi, kepastian hukum, dan kepercayaan publik
terhadap sistem peradilan pidana korupsi.