Abstract:
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku berkebutuhan khusus
menimbulkan persoalan kompleks dalam sistem peradilan pidana, terutama terkait
dengan pertanggungjawaban pidana, prosedur hukum yang sesuai, serta pemenuhan
hak-hak pelaku. Perbedaan kemampuan kognitif dan mental pelaku menyebabkan
adanya tantangan dalam menilai unsur kesalahan dan kapasitas tanggung jawab
pidana. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana negara
menyeimbangkan antara penegakan hukum, perlindungan korban, dan perlakuan
adil terhadap pelaku berkebutuhan khusus.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan analisis
deskriptif. Data dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-
undangan yang relevan, literatur akademik, serta studi kasus yang telah ditangani
oleh aparat penegak hukum. Tiga rumusan masalah yang dianalisis meliputi:
Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku berkebutuhan khusus,
bagaimana prosedur penanganan perkara kekerasan seksual oleh pelaku disabilitas,
serta bagaimana jaminan hak-hak mereka dalam proses hukum. Analisis dilakukan
terhadap berbagai regulasi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku disabilitas memerlukan pendekatan khusus. Berdasarkan KUHP dan UU
Disabilitas, pelaku berkebutuhan khusus dapat dinyatakan tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila terbukti mengalami gangguan
mental berat yang memengaruhi kemampuan memahami akibat perbuatannya.
Prosedur
penanganan mengharuskan adanya asesmen psikologis dan
pendampingan hukum yang ramah disabilitas, sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 43 dan 44 UU Disabilitas serta Pasal 26 UU TPKS. Hak-hak pelaku tetap
harus dijamin, termasuk hak atas perlakuan yang manusiawi, komunikasi yang
mudah dipahami, dan pendamping hukum sejak tahap penyelidikan. Mahkamah
Agung juga menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Penyandang Disabilitas, sebagai acuan tambahan dalam memastikan proses
peradilan yang adil dan inklusif. Temuan ini menegaskan bahwa sistem peradilan
pidana Indonesia perlu lebih adaptif dan berperspektif disabilitas agar tidak
mengabaikan prinsip keadilan substantif.