Abstract:
Penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu tindak pidana serius yang mengancam
kesehatan dan stabilitas sosial di Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika telah mengatur secara tegas sanksi pidana dan rehabilitasi bagi pengguna
narkoba, namun dalam praktiknya, penerapan sanksi oleh aparat penegak hukum masih
menimbulkan perdebatan, terutama dalam membedakan antara pengguna, penyalahguna, dan
pengedar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan hukum yang mengatur sanksi
terhadap pengguna narkotika, mengkaji penerapannya dalam Putusan Nomor
553/Pid.Sus/2021/PN JMB, dan menilai kesesuaian putusan tersebut dengan asas keadilan dan
tujuan hukum pidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan studi kasus. Data diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, literatur hukum, dan dokumen resmi
lainnya. Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum doktrin yang mengacu pada norma-norma hukum karena
penelitian ini menggunakan data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga
dengan penelitian hukum doctrinal yang dimana hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis di peraturan perundang-undangan (Lawn in books), dan penelitian
terhadap sistematika hukum dapat dilakukan pada perundang – undangan dan kasus
tertentu atau hukum tertulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Putusan Nomor 553/Pid.Sus/2021/PN
JMB, Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa meskipun terdapat indikasi bahwa
terdakwa merupakan pengguna pribadi yang seharusnya diarahkan untuk menjalani
rehabilitasi sesuai dengan ketentuan Pasal 54 dan Pasal 103 UU Narkotika. Hal ini
mencerminkan adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan sanksi kepada
pengguna narkotika. Meskipun terdakwa diketahui menggunakan narkotika untuk
dirinya sendiri dan memenuhi syarat rehabilitasi, hakim tetap menjatuhkan pidana
penjara kepadanya tanpa mempertimbangkan secara optimal ketentuan rehabilitasi
dalam UU Narkotika. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan retributif masih dominan
dibandingkan dengan pendekatan rehabilitatif dalam praktik peradilan pidana di Indonesia.