| dc.description.abstract |
Penetapan tersangka merupakan salah satu tahap penting dalam proses
penegakan hukum pidana yang memiliki konsekuensi besar bagi hak-hak
individu. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana mengatur prosedur ketat mengenai tahapan
penetapan tersangka, termasuk persyaratan adanya minimal dua alat bukti yang
sah serta pelaksanaan gelar perkara. Namun, dalam praktiknya ditemukan
berbagai problematika, salah satunya pada kasus mahasiswa Universitas
Indonesia, Hasya Athalla, yang ditetapkan sebagai tersangka setelah meninggal
dunia. Kasus ini menimbulkan dilema hukum dan etika karena bertentangan
dengan ketentuan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU
XII/2014.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan studi
hukum doktrinal dan analisis kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan,
putusan MK, serta literatur hukum terkait. Fokus penelitian adalah mengkaji
prosedur penetapan tersangka menurut KUHAP dan Perkapolri No. 6 Tahun 2019,
mengidentifikasi problematika hukum dalam kasus Hasya Athalla, serta
merumuskan upaya perbaikan guna menghindari penyimpangan prosedur
penetapan tersangka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan tersangka pada orang yang
sudah meninggal bertentangan dengan asas-asas hukum dan perlindungan hak
asasi manusia yang dijamin dalam KUHAP dan Putusan MK. Selain itu, terdapat
kelalaian dalam pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
yang mengurangi transparansi dan akuntabilitas proses penyidikan. Penelitian ini
merekomendasikan perlunya penguatan pengawasan internal, peningkatan
profesionalisme aparat penegak hukum, dan harmonisasi ketentuan perundang
undangan untuk memastikan prosedur penetapan tersangka dijalankan secara adil,
transparan, dan sesuai prinsip due process of law. |
en_US |