| dc.description.abstract |
Konsumen hanya menjadi pihak yang menerima isi perjanjian yang telah
disusun oleh pelaku usaha secara sepihak. Perjanjian tersebut, yang kerap berbentuk
kontrak baku, tidak memberikan ruang negosiasi yang cukup bagi konsumen untuk
menyampaikan keberatannya atau menyesuaikan ketentuan yang dianggap
memberatkan. Di sinilah terjadi penyimpangan dari prinsip otonomi kehendak yang
menjadi dasar asas kebebasan berkontrak.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan hukum.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menganalisis norma
norma hukum yang berlaku. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, baik secara luring maupun
daring. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian pembahasan menunjukkan Pembatasan terhadap asas
kebebasan berkontrak merupakan prasyarat mutlak agar hubungan pelaku usaha
konsumen berlangsung seimbang dan adil. Secara hukum, Pasal 1338 KUH Perdata
memang menjamin kebebasan berkontrak, tetapi asas itikad baik menegaskan
bahwa kebebasan itu berakhir ketika melanggar kepatutan, hukum, atau ketertiban
umum. Undang-Undang Perlindungan Konsumen kemudian mengubah prinsip itu
dari kebebasan absolut menjadi kebebasan bersyarat dengan tiga perubahan pokok:
(i) larangan klausula baku ekskulpasi dan pembatasan hak gugat (Pasal 18), (ii)
kewajiban informasi benar-jelas (Pasal 4 dan 7), dan (iii) rezim ganti rugi, sanksi
pidana, serta forum penyelesaian sengketa cepat di BPSK |
en_US |