dc.description.abstract |
Putusan Hakim MK terhadap perkara yang disidangkan kepadanya bersifat
final dan mengikat. Walau demikian putusan hakim MK adalah juga merupakan
produk hukum yang berasal dari pemikiran dan penguasaan bidang keilmuan
hukum yang dimiliki oleh para Hakim. Oleh sebab itu pastilah ada ditemui
kelemahan-kelemahan bila dikaji kembali secara mendalam oleh para praktisi
hukum yang mengamatinya, terlebih apabila hasil putusan tersebut ditemukan
adanya pelanggaran hukum yang fatal dan vital sehingga hasil putusan Hakim MK
dianggap dan dinilai tidak bermuatan keadilan hukum sebagaimana yang berlaku,
seperti pada pelanggaran etik kehakiman dan pelanggaran terhadap undang-undang
yang tampak nyata diketahui oleh banyak pihak seperti pada perkara Pilpres tahun
2024. Dimana banyak para ahli dan pakar hukum menemukan keganjilan dan
pelanggaran hukum dari putusan Hakim MK yang bersidang waktu itu. Sehingga
upaya hukum pengaduan dan permohonan untuk menyidangkan hasil putusan dan
Hakim MK itu sendiri dilakukan oleh para Pemohonnya melalui persidangan
MKMK.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif
dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang bersumber pada kepustakaan
bidang keilmuan hukum (library research) dan aturan pada kebijakan perundang
undangan (statute approach) sehingga memberikan kejelasan mengenai
kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi, urgensi kewenangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi guna
penerapan atas independen pada Hakim MK, dan bagaimana kepastian hukum
putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang dibatalkan Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian ini didapati bahwa
sebenarnya hakim memiliki independensi yang tinggi dalam melakukan proses
persidangan hingga putusannya perkara. Dimana hal ini dijamin oleh Undang
Undang Kehakiman itu sendiri. Namun pada kenyataannya yang terjadi
independensi yang dimiliki hakim dalam proses persidangan dan pengambilan
Keputusan sering sekali mendapatkan intervensi dari penguasa yang memerintah
sehingga proses dan putusannya tidak lagi bersifat hukum namun lebih mengarah
pada politisasi dari kepentingan penguasa, sehingga mencederai perasaan hukum
Masyarakat. Persidangan MKMK yang dianggap sebagai upaya dan Langkah
hukum bagi pemohonnya pun dianggap sia-sia, Putusan Hakim yang dinilai salah
pun tetap berlanjut dengan dalih prinsip final dan mengikat. Walaupun usaha
pemohon telah dilakukan melalui PTUN, tetapi sia-sia tidak merubah Putusan MK. |
en_US |