Abstract:
Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang mengubah syarat batas usia minimal
calon kepala daerah dari 30 tahun sejak penetapan menjadi 30 tahun saat pelantikan
telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan ahli hukum, terutama terkait
dugaan kepentingan politik dan ketidakpastian hukum dalam Pilkada 2024.
Sementara itu, MK dalam Putusan No. 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa
penghitungan usia tetap berdasarkan penetapan pasangan calon oleh KPU, yang
menimbulkan konflik norma antara dua lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Perbedaan putusan ini menunjukkan dinamika hukum tata negara yang kompleks
serta tantangan dalam memastikan kepastian hukum dan stabilitas demokrasi di
Indonesia.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui batas dari usia calon kepala
daerah dan juga untuk mengetahui alasan Mahkamah Konstitusi dapat
mengesampingkan putusan lainnya dan mengetahui pertimbangan mahkamah
konstitusi memutus terkait batas usia calon kepala daerah. Jenis penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis
normatif adalah metode penelitian yang berfokus pada kajian terhadap norma-
norma atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Metode ini sering digunakan dalam
penelitian di bidang ilmu hukum atau ilmu-ilmu lain yang terkait dengan norma-
norma atau kaidah-kaidah tertentu.
Hasil Penelitian ini ialah Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran
strategis sebagai pengawal konstitusi dengan kewenangan melakukan judicial
review terhadap undang-undang agar tetap selaras dengan UUD 1945. Putusan MK
bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dapat diganggu gugat serta harus
dipatuhi oleh semua pihak. Dalam konteks pembatasan usia calon kepala daerah,
MK secara konsisten menegaskan bahwa batas usia merupakan kebijakan hukum
pembentuk undang-undang yang harus memenuhi prinsip rasionalitas,
proporsionalitas, dan tidak diskriminatif. Putusan Nomor 70/PUU-XXI/2024
menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus dipenuhi sejak penetapan
oleh KPU, guna menjaga konsistensi hukum dan mencegah ketidakpastian dalam
sistem pemilu. Namun, tantangan dalam implementasi putusan MK tetap ada,
termasuk kurangnya mekanisme pemaksa dan harmonisasi sistem hukum, yang
berpotensi
mempengaruhi efektivitas supremasi hukum dan stabilitas
ketatanegaraan.