Abstract:
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini didasarkan pada UU Perkawinan yang
memuat norma yang mengatur pengingkaran total terhadap keabsahan perkawinan
bagi semua agama dan kepercayaan. Kriteria ini tidak hanya diatur dalam Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan, tetapi juga dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
Penelitian ini untuk mengetahui pencatatan perkawinan beda agama bagi
masyarakat non-Islam perspektif hukum positif di Indonesia, bagaimana
kedudukan surat edaran mahkamah agung dalam sistem hukum positif di
Indonesia dikaitkan aspek hukum pencatatan perkawinan, serta bagaimana
problematika yuridis perlindungan hukum bagi masyarakat non-Islam yang kawin
beda agama pasca keluarnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023.
Metode penetian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
data sekunder yang diperoleh secara studi kepustakaan (library research).
Kemudian, data diolah dengan menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pencatatan perkawinan beda
agama bagi masyarakat non-Islam perspektif hukum positif di Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara
eksplisit perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa
diresmikan di Indonesia. Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
68/PUU-XII/2014 telah menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah
konstitusional. Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 menjadi dasar hukum yang
kuat untuk melindungi hak masyarakat non-Islam dalam melangsungkan
perkawinan beda agama. Kedudukan surat edaran mahkamah agung dalam sistem
hukum positif di Indonesia dikaitkan aspek hukum pencatatan perkawinan secara
yuridis diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat didasarkan
pada Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 dan Pasal 79 UU MA. Namun, keterikatan
aturan ini secara tidak langsung kepada masyarakat, melainkan melalui internal
pengadilan. Problematika yuridis perlindungan hukum bagi masyarakat non-Islam
yang kawin beda agama pasca keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2023 menimbulkan respon pro dan kontra bagi masyarakat Indonesia.
Pihak pro menganggap bahwa SEMA tersebut sudah benar dan patut diapresiasi
karena telah selaras dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 dan juga
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebaliknya, pihak kontra justru tidak menyetujui
SEMA tersebut karena bertentangan dengan Pasal 35 huruf a Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan prinsip HAM.