dc.description.abstract |
Perkawinan merupakan komitmen dan wujud dari cinta kasih antara
sepasang lelaki dan perempuan yang berkeinginan membangun rumah tangga
dengan tujuan yang mulia dengan berdasar pada nilai-nilai agama dan hukum
yang berlaku. Menghalalkan hubungan antara keduanya yang diawali dengan niat
baik dan secara sah diakui oleh negara dengan tercatat sebagai pasangan suami istri dalam administrasi negara. Namun diakui pula dalam proses berjalannya
waktu dalam mengarungi bahtera rumah tangga pasangan kawin sering pula
dihadapi dengan berbagai permasalahan yang merintangi hubungan antara
keduanya. Menjadi sebuah pertengkaran dan pertikaian yang serasa tak kunjung
henti, perkawinan tidak lagi dirasakan langgeng dimasa depannya, mudharat
sudah lebih besar daripada manfaat dalam perkawinan jika permasalahan terhadap
pasangan kawin itu tidak diselesaikan secepatnya. Salah satu problematik pada
pasangan kawin tersebut adalah persoalan pembatalan perkawinan yang
disebabkan ketidakperawanan dari perempuan yang dinikahi lelaki sebagai suami
kepada istrinya.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang dilakukan dengan pendekatan
yuridis normatif, yang bertujuan untuk melakukan penelitian berdasarkan sumber
kepustakaan yang dipadukan dengan kebijakan peraturan perundang-undangan terkait
pengaturan hukum terhadap penyebab pembatalan perkawinan, konsep ketidak
perawanan dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata, dan bagaimana ketidak
perawanan menjadi dasar pembatalan perkawinan di Indonesia.
Pada hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini didapati bahwa
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menjadi dasar legalitas dari perkawinan itu sendiri bahwasanya tidak
pernah ada dijumpai perihal pembatalan perkawinan yang dimohonkan lelaki
sebagai suami kepada perempuan yang menjadi istrinya disebabkan oleh
ketidakperawanan. Hanya saja dalam persoalan pembatalan perkawinan yang
dimohonkan oleh suami tersebut kepada istrinya untuk digugat cerai di Pengadilan
maka Hakim sesuai dengan kewajibannya dalam Undang-Undang Kehakiman
tidak boleh pula menolak perkara tersebut. Hanya saja hakim yang memutus
perkara ini berdasarkan penolakan suami atas perkawinannya yang merasa ditipu
oleh perempuan yang menjadi istrinya yang ternyata tidak perawan, padahal
suami belum pernah memerawani istri sebelumnya. Rasa kecewa suami dan tidak
lagi percaya kepada istrinya menjadi dasar untuk menceraikannya. |
en_US |