Abstract:
Force majeure memiliki kaitan erat dengan konsekuensi ganti rugi dalam
suatu kontrak. Keadaan ini tidak hanya berdampak pada hilang atau tertundanya
kewajiban dalam kontrak, tetapi juga dapat membebaskan para pihak dari
tanggung jawab membayar ganti rugi akibat keterlambatan dalam pemenuhan
kontrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima
(Niet Onvankelijke Verklaard) dalam perkara wanprestasi akibat force majeure
berdasarkan putusan No. 45/Pdt.G/2022 PN Sim. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan hukum yuridis normatif, yang dikenal juga
sebagai penelitian hukum doktrinal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu perjanjian yang
mengalami wanprestasi akibat force majeure, kewajiban untuk memenuhi prestasi
tidak dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak karena adanya kejadian yang tidak
terduga dan berada di luar kendalinya. Dalam situasi ini, wanprestasi yang terjadi
bukan disebabkan oleh kesalahan debitur, melainkan akibat keadaan yang
memaksa (force majeure).
Oleh karena itu, debitur tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas
kelalaian dalam memenuhi kewajibannya. Contoh keadaan yang termasuk dalam
force majeure antara lain bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor,
dan tsunami. Kejadian-kejadian ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat
dihindari, sehingga menghalangi debitur untuk memenuhi perjanjian yang telah
disepakati. Dengan demikian, force majeure memberikan perlindungan hukum
bagi debitur agar tidak dikenakan sanksi atau tuntutan ganti rugi atas ketidak
mampuannya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian.