dc.description.abstract |
Perbedaan antara tindak pidana penipuan dan wanprestasi sering kali
menimbulkan persoalan hukum, terutama dalam menentukan apakah suatu
perkara harus diselesaikan melalui jalur pidana atau perdata. Permasalahan ini
dikenal sebagai prejudicial geschil, yaitu konflik yurisdiksi yang memerlukan
penyelesaian terlebih dahulu dalam satu ranah sebelum yang lainnya dapat
diproses. Studi ini mengkaji penyelesaian prejudicial geschil berdasarkan Putusan
Perdata Nomor 1075/Pdt.G/2019/PN SBY dan Putusan Pidana Nomor
2482/Pid.B/2020/PN SBY, yang melibatkan aspek hukum perdata dan pidana
dalam konteks sengketa kontraktual yang berujung pada dugaan penipuan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pertimbangan
hukum dalam dua putusan tersebut menangani konflik antara wanprestasi dan
penipuan, serta sejauh mana prinsip prejudicial geschil diterapkan oleh
pengadilan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan
kasus, yang melibatkan studi terhadap putusan pengadilan, peraturan perundang-
undangan, serta doktrin hukum yang relevan. Analisis ini memberikan
pemahaman mengenai kecenderungan hakim dalam menilai aspek perdata
sebelum memutus perkara pidana, serta implikasi dari putusan tersebut terhadap
sistem peradilan di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus ini, pengadilan perdata
lebih dahulu menyelesaikan sengketa kontrak dan memutuskan bahwa terdapat
wanprestasi, yang kemudian menjadi pertimbangan dalam perkara pidana.
Namun, pengadilan pidana tetap melanjutkan pemeriksaan perkara penipuan
dengan mempertimbangkan unsur niat jahat (mens rea). Kesimpulan dari studi ini
adalah bahwa prejudicial geschil memiliki peran penting dalam menghindari
tumpang tindih yurisdiksi dan memastikan keadilan bagi para pihak. Oleh karena
itu, diperlukan pedoman yang lebih jelas mengenai penerapan prinsip ini agar
tidak terjadi kesalahan dalam mengkualifikasikan perkara perdata dan pidana. |
en_US |