dc.description.abstract |
Ada dua teknik yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yaitu penyadapan dan
penjebakan. Namun sistem OTT sering menimbulkan opini publik bahwa KPK
melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta
melanggar hak privasi seseorang karena ketidakjelasan mengenai mekanisme dan
batasan kewenangan penjebakan dan penyadapan dalam melakukan OTT. Isitilah
OTT juga tidak terdapat dalam KUHAP, UU KPK, dan UU tindak pidana korupsi
tidak mengatur OTT. Hal ini juga sering sekali menimbulkan tindakan sewenang wenang dari aparat penegak hukum KPK dalam setiap upaya paksa seperti
penetapan seseorang sebagai tersangka yang dilakukan dengan mengabaikan hak
asasi dari tersangka atau terdakwa. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji bagaimana
pengaturan dan prosedur OTT yang dilakukan KPK, bagaimana kewenangan
praperadilan mengenai penetapan tersangka korupsi oleh KPK atas tindakan OTT
sebelum berlaku PMK No.21/PUU-XII/2014, dan bagaimana perluasan
kewenangan praperadilan dalam hal penetapan tersangka pelaku tindak pidana
korupsi setelah PMK No.21/PUU-XII/2014.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum yuridis normatif
yang menggunakan bahan hukum utama dengan cara menelaah pengertian,
perbandingan, dan menganalisis yang berkaitan dengan perluasan kewenangan
praperadilan mengenai penetapan tersangka korupsi yang dilakukan KPK atas
tindakan OTT.
Berdasarkan hasil penelitian ini dipahami bahwa KUHAP memberikan
jaminan terhadap tersangka atau terdakwa untuk melakukan tuntutan atau gugatan
atas setiap upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum melalui lembaga
praperadilan, agar membuktikan apakah setiap upaya paksa tersebut sah dan tidak
melanggar hak asasi manusia. Namun lembaga praperadilan hanya memberikan
jaminan terbatas pada sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan,
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Untuk
memberikan perlindungan hak asasi manusia khususnya mengenai hak-hak
tersangka lebih terlindungi Mahkamah Konstitusi mengeluarkan PMK No.21/PUU XII/2014 dengan memperluas objek praperadilan seperti sah atau tidaknya
penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan. |
en_US |