Abstract:
Dalam Islam mencegah dan memerangi HIV/AIDS sebagai akibat segala
perbuatan yang dilarang Allah termasuk dalam jihad dalam rangka menjalankan
amar maruf nahi munkar. Mengingat bahwa penyebab penyakit HIV/AIDS
sebagian besar diakibatkan oleh perilaku seksual yang diharamkan Islam,
maka cara dan upaya yang paling efektif untuk mencegahnya adalah dengan
malarang perzinaan serta hal-hal lain yang terkait dengan perzinaan, seperti
pornografi dan pornoaksi.
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yang dititik beratkan kepada
penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menganalisis data-data dan
dokumen yang didapat, yaitu; 1) Syarat Yang Terkait Dengan Kesehatan Calon
Suami Istri Untuk Melangsungkan Perkawinan, 2) Akibat Hukum Perkawinan
Jika Pasangan Suami Istri Pengidap Penyakit AIDS, 3) Fatwa dan Dalil MUI
tahun 1997 Terkait Hukum Perkawinan Dengan Penderita HIV/AIDS.
Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa; terkait hukum perkawinan
HIV/AIDS ada dua. Pertama, jika kedua pasangan sama-sama mengidap penyakit
HIV/AIDS, maka pernikahan diantara mereka diperbolehkan, dan disyaratkan
keduanya untuk tidak berketurunan, karena virus HIV akan menular pada
keturunannya. Kedua, jika hanya salah satu pihak yang mengidap penyakit
HIV/AIDS, maka pernikahannya dipandang haram. Hal ini dilihat dari sejauh
mana tingkat bahaya yang ditimbulkan penyakit tersebut. Syarat pemeriksaan
kesehatan terdapat pada “Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling Dan Pemeriksaan Kesehatan
Bagi Calon Pengantin”. Kemudian dalam Perspektif UU Kesehatan menjalankan
pre marital check up (pemeriksaan kesehatan pra nikah) merupakan sebuah
tindakan pencegahan untuk kesehatan pasangan dan untuk anak sebagai
keturunan