Please use this identifier to cite or link to this item:
http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/29549Full metadata record
| DC Field | Value | Language |
|---|---|---|
| dc.contributor.author | Delpiana, Azhari Manday | - |
| dc.date.accessioned | 2025-10-30T02:50:33Z | - |
| dc.date.available | 2025-10-30T02:50:33Z | - |
| dc.date.issued | 2025-09-13 | - |
| dc.identifier.uri | http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/29549 | - |
| dc.description.abstract | Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku berkebutuhan khusus menimbulkan persoalan kompleks dalam sistem peradilan pidana, terutama terkait dengan pertanggungjawaban pidana, prosedur hukum yang sesuai, serta pemenuhan hak-hak pelaku. Perbedaan kemampuan kognitif dan mental pelaku menyebabkan adanya tantangan dalam menilai unsur kesalahan dan kapasitas tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana negara menyeimbangkan antara penegakan hukum, perlindungan korban, dan perlakuan adil terhadap pelaku berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan analisis deskriptif. Data dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang- undangan yang relevan, literatur akademik, serta studi kasus yang telah ditangani oleh aparat penegak hukum. Tiga rumusan masalah yang dianalisis meliputi: Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku berkebutuhan khusus, bagaimana prosedur penanganan perkara kekerasan seksual oleh pelaku disabilitas, serta bagaimana jaminan hak-hak mereka dalam proses hukum. Analisis dilakukan terhadap berbagai regulasi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku disabilitas memerlukan pendekatan khusus. Berdasarkan KUHP dan UU Disabilitas, pelaku berkebutuhan khusus dapat dinyatakan tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila terbukti mengalami gangguan mental berat yang memengaruhi kemampuan memahami akibat perbuatannya. Prosedur penanganan mengharuskan adanya asesmen psikologis dan pendampingan hukum yang ramah disabilitas, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 dan 44 UU Disabilitas serta Pasal 26 UU TPKS. Hak-hak pelaku tetap harus dijamin, termasuk hak atas perlakuan yang manusiawi, komunikasi yang mudah dipahami, dan pendamping hukum sejak tahap penyelidikan. Mahkamah Agung juga menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Penyandang Disabilitas, sebagai acuan tambahan dalam memastikan proses peradilan yang adil dan inklusif. Temuan ini menegaskan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia perlu lebih adaptif dan berperspektif disabilitas agar tidak mengabaikan prinsip keadilan substantif. | en_US |
| dc.publisher | UMSU | en_US |
| dc.subject | Kekerasan Seksual | en_US |
| dc.subject | Disabilitas | en_US |
| dc.subject | Pertanggungjawaban Pidana | en_US |
| dc.subject | Prosedur Hukum | en_US |
| dc.subject | Keadilan Restoratif | en_US |
| dc.title | PROSEDUR DAN PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP PELAKU BEKEBUTUHAN KHUSUS YANG MELAKUKAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA | en_US |
| dc.type | Thesis | en_US |
| Appears in Collections: | Legal Studies | |
Files in This Item:
| File | Description | Size | Format | |
|---|---|---|---|---|
| SKRIPSI DELPIANA AZHARI MANDAY.pdf | Full Text | 1.46 MB | Adobe PDF | View/Open |
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.