Abstract:
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat, termasuk dalam
layanan gadai emas yang ditawarkan oleh Bank Syariah Indonesia (BSI). Gadai
emas menjadi salah satu produk pembiayaan yang banyak diminati oleh
masyarakat karena sifatnya yang cepat dan sesuai dengan prinsip syariah. Namun,
dalam praktiknya, perjanjian gadai emas di BSI menghadapi berbagai tantangan
hukum, terutama terkait dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah dan regulasi
perbankan nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik
perjanjian gadai emas di BSI, proses pelaksanaannya, serta akibat hukum bagi
nasabah yang tidak dapat menebus barang jaminan sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
hukum empiris dengan pendekatan yuridis-sosiologis. Data dikumpulkan melalui
studi kepustakaan serta wawancara dengan pihak Bank Syariah Indonesia Kantor
Cabang Kutacane. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan mengkaji regulasi
yang berlaku, prinsip-prinsip syariah, serta praktik yang diterapkan dalam
pelaksanaan gadai emas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik gadai emas di Bank
Syariah Indonesia (BSI) mencakup perjanjian tertulis, penggunaan akad syariah,
serta bebas dari riba. Seluruh proses diawasi oleh OJK dan mengikuti Fatwa
DSN-MUI. Di BSI KC Kutacane, proses dimulai dengan pengajuan nasabah dan
dikenakan biaya taksiran, namun penetapan biaya penyimpanan (ujrah) tidak
sesuai dengan Fatwa DSN karena dihitung berdasarkan jumlah pinjaman, bukan
biaya riil. Akibat hukum bagi nasabah yang tidak menebus emas adalah
pelelangan barang jaminan setelah peringatan, dan nasabah tetap wajib melunasi
jika hasil lelang tidak mencukupi.