Abstract:
Inkonsistensi hukum terkait surat kuasa khusus muncul karena
ketidakjelasan pengaturannya dalam KUHPerdata. Hukum perdata Indonesia
belum sepenuhnya mengalami unifikasi, yang mengarah pada ketidaksesuaian
antara aturan hukum dan penerapannya di Pengadilan. Surat kuasa, sebagai
instrumen pelimpahan wewenang, berfungsi untuk mewakili pihak dalam urusan
pribadi atau hukum. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi penyalahgunaan
akibat kurangnya pemahaman masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk
memastikan bahwa surat kuasa khusus yang digunakan dalam peradilan
memenuhi ketentuan yang jelas dan tepat agar tidak menimbulkan sengketa
hukum.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan
pengumpulan data hukum primer dan sekunder. Jenis penelitian yang digunakan
adalah deskriptif, yang menyajikan data secara rinci. Data dikumpulkan melalui
studi kepustakaan baik offline maupun online, kemudian dianalisis secara
deskriptif untuk mencapai kesimpulan ilmiah yang menjawab rumusan masalah.
Berdasarkan hasil penelitian terkait surat kuasa khusus dalam beracara
perdata, dengan fokus pada inkonsistensi dalam penerapannya. Berdasarkan
ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147 ayat (1) RBG, surat kuasa khusus
harus tertulis dan mencantumkan informasi yang jelas tentang objek sengketa,
identitas pihak, dan kompetensi pengadilan. Mahkamah Agung melalui berbagai
Surat Edaran (SEMA) telah memperjelas persyaratan surat kuasa khusus, namun
praktik di pengadilan menunjukkan adanya ketidakonsistenan dalam penerapan
syarat-syarat tersebut. Inkonsistensi ini berpotensi merugikan proses peradilan,
karena dapat menimbulkan keraguan terhadap kewenangan penerima kuasa dan
menyebabkan penyalahgunaan wewenang. Surat kuasa khusus, sebagai instrumen
hukum yang penting dalam peradilan, memerlukan keseragaman dalam penerapan
untuk memastikan perlindungan hukum bagi pemberi kuasa dan keberlangsungan
proses hukum yang sah.