Abstract:
Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum mandiri beroperasi melalui
organ-organnya, dengan direksi memiliki peran sentral dalam pengurusan
perusahaan. Dalam praktik bisnis yang penuh dinamika dan ketidakpastian,
direksi seringkali menghadapi risiko tuntutan hukum atas keputusan yang
mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Untuk melindungi direksi yang
beritikad baik, doktrin business judgement rule hadir sebagai prinsip yang
memberikan perlindungan hukum bagi direksi dari tanggung jawab atas kerugian
perusahaan, termasuk dalam konteks kepailitan yang berujung pada pemutusan
hubungan kerja dengan karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
penerapan doktrin business judgement rule dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengkaji perbedaan antara tindakan ultra
vires yang menguntungkan dengan penerapan business judgement rule, serta
menganalisis pertanggungjawaban direksi terhadap pemutusan hubungan kerja
karyawan akibat kepailitan perusahaan.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan
data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research). Data
yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan doktrin business
judgement rule di Indonesia tercermin dalam Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan
Terbatas, yang memberikan perlindungan bagi direksi yang telah menjalankan
tugasnya dengan itikad baik, kehati-hatian, tanpa benturan kepentingan, dan
sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Penelitian ini menemukan bahwa
tindakan ultra vires yang menguntungkan perusahaan tidak dapat dipersamakan
dengan business judgement rule, karena tindakan tersebut tetap melanggar batas
kewenangan dalam anggaran dasar. Dalam hal kepailitan yang menyebabkan
pemutusan hubungan kerja, direksi tetap memiliki tanggung jawab meskipun
menggunakan dalih business judgement rule, karena harus tetap memenuhi
ketentuan peraturan ketenagakerjaan. Sesuai dengan Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan dan Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, hak-hak karyawan tetap
menjadi prioritas dalam proses kepailitan.