Abstract:
Terkait dengan pembahasan seputar penetapan tersangka oleh Penyidik
KPK terhadap Kabasarnas RI, seorang perwira tinggi TNI dijadikan tersangka
tindak pidana korupsi. Hal ini membawa kita pada topik kewenangan. Pertanyaan
mengenai siapa yang berwenang mengadili prajurit TNI aktif yang melakukan
tindak pidana korupsi muncul ketika prajurit tersebut berhadapan dengan
peradilan militer. Menurut Pasal 42 Undang-undang KPK, KPK dapat melakukan
supervisi dan mengelola penyidikan, penuntutan, dan koordinasi terhadap tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada sistem hukum militer
dan sipil. Sementara itu, KPK juga diberi wewenang untuk menangani tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh TNI.
Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yang berbeda: perundang undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Oleh karena itu, peraturan peradilan militer hanya berlaku bagi prajurit
TNI yang masih aktif dalam hal melakukan korupsi ketika bertugas di TNI.
Namun, apabila anggota TNI melakukan korupsi saat menjabat sebagai pejabat
sipil, maka Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan tugasnya
dalam hal pemberantasan korupsi berdasarkan ketentuan pasal 42, Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pasal 1 angka (4), dan pasal 6. KPK masih dapat melakukan
penyidikan karena perkara seperti ini dapat diajukan ke pengadilan koneksitas.
KPK berwenang untuk mengontrol dan mengawasi peninjauan, penyelidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara kolektif oleh individu
yang berada di bawah otoritas sipil dan militer.