Abstract:
Tujuan penelitian mengungkapkan dan menganalisis bagaimana
penyelesaian sengketa terhadap tumpang tindih hak milik atas tanah di Desa
Lalang, mengungkapkan dan menganalisis bagaimana akibat hukum yang di
timbulkan terhadap sertifikat tumpang tindih hak milik atas tanah di Desa Lalang
dan untuk menemukan dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi
pemegang sah hak atas tanah yang sudah memiliki alat bukti (sertifikat) dalam
kasus tumpang tindih tersebut.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris yang bersifat
deskriptif, dengan menggunakan metode yuridis empiris yang diambil dari data
primer dengan melakukan wawancara dan data sekunder dengan mengolah data
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil
penelitian Kepastian hukum terhadap sertifikat hak atas tanah yang mengalami
tumpang tindih tersebut difokuskan pada perlindungan hukum represif, mengingat
bahwa sengketa yang terjadi sudah meluas sehingga dibutuhkan upaya-upaya
yang dilakukan oleh BPN untuk menyelesaikan sengketa yang sudah terjadi
tersebut.
Faktor-faktor penyebab terjadinya tumpang Tindih sertifikat hak milik atas
tanah di Desa Lalang yaitu karena adanya peta pendaftaran belum terbentuk atau
belum lengkap, faktor petugas atau pegawai kantor pertanahan baik disebabkan
karena human error maupun adanya itikad tidak baik dari pemohon, adanya
pemecahan atau pemekaran wilayah, masih ditemukannya penataan administrasi
yang tidak benar di kelurahan dan adanya perubahan tata ruang oleh Masyarakat
Desa Lalang Dari kesemua faktor tersebut diatas disebabkan karena
ketidakcermatan dan ketidaktelitian antara masyarakat dengan PT. INALUM
dalam memeriksa dan meneliti data fisik dan data yuridis baik secara langsung di
lapangan maupun dalam hal penyelidikan riwayat tanah dan penilaian kebenaran
alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah melalui pengecekan warkah yang ada
di Desa Lalang. .Upaya penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masyarakat
Desa Lalang terhadap timbulnya sertifikat ganda dapat ditempuh dengan 2 cara,
yaitu yang pertama ditempuh dengan menyelesaikan sengketa melalui Badan
Pertanahan Nasional (non litigasi). Untuk menyelesaikan sengketa dilakukan
musyawarah antara para pihak yang bersengketa dengan mediator Kantor
Pertanahan. Dan cara terakhir yang harus ditempuh apabila musyawarah antara
para pihak tidak tercapai, yaitu dengan menyelesaikan sengketa melalui Peradilan.