Abstract:
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang dihadapi oleh
seorang Hakim pemeriksa perkara yang juga sekaligus mediator untuk tetap
menjaga netralitasnya, khususnya ketika mediasi wajib yang dilakukannya tidak
berhasil sehingga kemudian perkara dilanjutkan ke proses pemeriksaan persidangan
dan ia harus menempatkan dirinya dalam posisi sebagai Hakim Pemeriksa Perkara.
Dalam hal ini, Hakim Pemeriksa Perkara sekaligus mediator tersebut tidak hanya
dituntut untuk bersikap mandiri serta professional tetapi juga dapat menghindarkan
dirinya dari konflik benturan kepentingan. Hal ini tidak menutup kemungkinan
akan terbentuknya suatu pemahaman awal oleh Hakim Pemeriksa Perkara yang
juga sebagai mediator, pada saat melakukan pemeriksaan persidangan atas perkara
yang pernah dimediasikannya. Terdapatnya indikasi terbentuknya pemahaman
awal atas suatu perkara oleh Hakim Pemeriksa Perkara tentunya melanggar
ketentuan butir 5.2.4 KEPPH yang menyatakan Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan
salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu
perkara yang akan disidangkan.
Penelitian ini menggunakan pendeketan kualitatif. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian normatif empiris dengan pendekatan undang-undang
(statute approach), Alat Pengumpulan Data Penelitian Yang Digunakan Dalam
Penelitian Ini Berupa wawancara dan Studi Kepustakaan (Library Research).
Hasil penelitian menunjukkan ada potensi kesulitan untuk menjaga sikap
imparsial dan meskipun telah ada pemahaman awal mengenai perkara tersebut,
hakim tetap diharapkan untuk bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya.
Hakim Pemeriksa Perkara yang juga berperan sebagai mediator diharapkan dapat
memisahkan dengan jelas antara peran sebagai mediator, yang bertujuan untuk
mencapai kesepakatan perdamaian yang bersifat win-win solution, dan peran
sebagai Hakim Pemeriksa Perkara, yang bertugas untuk memeriksa dan
memutuskan perkara melalui putusan. Faktor penyebab terjadinya peran ganda
seorang hakim ini adalah adanya keterbatasan jumlah mediator yang merupakan
masalah yang mendesak, dan hakim tidak boleh menolak penanganan suatu
perkara. Selain itu, terbatasnya sumber daya manusia, khususnya dalam profesi
hakim dan hakim mediator, membuat Pasal 3 ayat 5 sering kali tidak bisa diterapkan
secara ketat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Perma No. 1 Tahun 2016
tidak bersifat mutlak.