dc.description.abstract |
Saksi berperan penting dalam peradilan, tetapi keterangan palsu dapat
merusak keadilan. saksi yang memberikan keterangan palsu dalam perkara pidana
merupakan isu serius yang merusak integritas sistem peradilan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) Indonesia, kesaksian palsu diatur
secara tegas dalam Pasal 242. Penelitian ini bertujuan untuk membahas
pengaturan hukum terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu dalam
perkara pidana ditinjau dari KUH Pidana, pengaturanhukumterhadapsaksi yang
memberikanketeranganpalsuditinjaudarihukumislam,
sertamembandingkan
hukumterhadapsaksi yang memberikanketeranganpalsuditinjaudari KUH Pidana
dan Hukum Islam
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
deskriptif analisis untuk membandingkan hukum mengenai kesaksian palsu dalam
KUH Pidana dan Hukum Islam. Data dikumpulkan melalui penelitian
kepustakaan, meliputi KUH Pidana, Al-Qur'an, Hadis, serta dokumen hukum
primer dan sekunder, dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan antara KUH Pidana
Indonesia dan hukum Islam dalam menangani saksi yang memberikan keterangan
palsu menunjukkan perbedaan signifikan. KUH Pidana Indonesia menetapkan
hukuman penjara hingga sembilan tahun dan pencabutan hak-hak tertentu sesuai
Pasal 242, dengan proses hukum yang mencakup verifikasi kesaksian dan
kredibilitas. Sedangkan dalam hukum Islam menekankan kejujuran, dituangkan
dalam surat (Q.SAn-Nisa: 135) yang menegaskanbahwasetiap orang yang
menjadisaksiharusmemberikanketerangan yang sebenarbenarnya walaupun memberatkan dirinya sendiri. Kedua sistem hukum menekankan integritas dan keadilan, namun hukum Islam juga mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam penegakannya. |
en_US |