dc.description.abstract |
Pada dasarnya menurut Pasal 18B UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria hak ulayat harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar oleh pihak lain. Pelanggaran yang dimaksud yaitu penguasaan tanah tanpa hak atau melanggar hukum, yang pada hakikatnya termasuk dalam bagian tanah ulayat adat di suatu daerah. Salah satu contoh persoalan pelanggaran atas hak ulayat ialah terjadi pada masyarakat adat Minangkabau dalam hal Tanah Pusaka Tinggi yang berada dalam penguasaan individu (dalam hal ini Mamak Kepala Waris dalam kaumnya), namun tanah yang termasuk Pusaka Tinggi masyarakat adat Minangkabau tersebut diambil alih oleh pihak lain. Seperti yang terjadi pada perkara yang diuraikan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 764 K/Pdt/2017. Bahwa harta pusaka tinggi tersebut telah dijual pihak yang tidak dikenal kepada pihak PT. Pertani tanpa sepengetahui Mamak Kepala Waris. Atas hal itu harus dilihat secara lebih teliti tentang bentuk-bentuk pengalihan yang diperbolehkan dan juga perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh Negara atas tanah ulayat (Pusaka Tinggi) dalam penguasaan Mamak Kepala Waris.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status tanah harta pusaka tinggi dalam hukum positif Indonesia, serta untuk menganalisis putusan dan pertimbangan hakim dalam memberikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 764 K/Pdt/2017. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan yaitu dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status tanah harta pusaka tinggi dalam hukum positif Indonesia diakui secara pasti berdasarkan Pasal 18B UUD 1945, Pasal 2 ayat (4), Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, selain itu juga diakui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pertimbangan hakim dalam memberikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 764 K/Pdt/2017 pada pokoknya tidak berpihak pada masyarakat adat Minangkabau karena menganggap kualitas saksi tidak sempurna dan alat bukti hanya berdasarkan surat pernyataan kedudukan penggugat sebagai masyarakat adat pada kaumnya dan mamak kepala waris, ditambah hakim kasasi mempertimbangkan bahwa hanya menilai judex yuris bukan judex factie. Analisis hukum atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 764 K/Pdt/2017 akhirnya mendapat suatu kesimpulan berupa tidak tepatnya putusan yang diberikan oleh hakim Mahkamah Agung karena tidak mencerminkan perlindungan hukum dari harta pusaka tinggi atas masyarakat hukum adat Minangkabau. Hakim juga tidak mempertimbangkan sumber hukum lain seperti doktrin dan kebiasaan-kebiasaan yang selama hidup di masyarakat hukum adat. |
en_US |