Research Repository

Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Show simple item record

dc.contributor.author Sihombing, Eka Nam
dc.contributor.author Bimantara, Heru
dc.date.accessioned 2021-09-21T02:02:27Z
dc.date.available 2021-09-21T02:02:27Z
dc.date.issued 2021-09-09
dc.identifier.uri http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/15415
dc.description.abstract Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi, kemudian di Indonesia disahkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Konpensasi, Restitusi, Rehabilitasi, terhadap Korban Pelanggaran HAM berat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum ganti rugi terhadap korban tindak pidana, untuk mengetahui pengajuan ganti rugi terhadap korban tindak pidana, dan untuk mengetahui kendala pengajuan ganti rugi terhadap korban tindak pidana. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan hukum yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa 1) Implementasi tuntutan ganti kerugian tindak pidana pemerkosaan dalam pasal 98 KUHAP senyatanya (riilnya atau yang berlaku saat ini). Pasal tersebut yaitu pasal 98 KUHAP belum dimanfaatkan secara maksimal oleh korban tindak pidana, khususnya korban tindak pidana pemerkosaan, hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa sampai saat ini di wilayah hukum Kota Medan belum ada seorang korban tindak pidana, khususnya korban tindak pidana pemerkosaan yang melakukan penggabungan tuntutan ganti rugi terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan pasal 98 KUHAP. 2) Untuk Implementasi tuntutan ganti kerugian tindak pidana pemerkosaan dalam pasal 98 KUHAP yang seharusnya (yang ideal berdasarkan hukum masa depan), yang saat ini diharapkan diakomodir oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban. 3) Dengan adanya Keterbatasan UU PSK dalam memberikan peran layanan bantuan bagi korban oleh LPSK, maka harus didorong dengan mengembangkan jaringan kerja atau mengelola lembaga mitra. LPSK harus menmobilisasi adanya kerjasama-kerjasama formal dengan lembaga penegak hukum lainnya (seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komnas HAM dll) maupun lembaga setingkat departemen lainnya (seperti ; Departemen Hukum dan HAM maupun Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kementrian Kesejahteraan Rakyat). en_US
dc.subject Pengajuan en_US
dc.subject Ganti Rugi en_US
dc.subject Tindak Pidana en_US
dc.title Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 en_US
dc.type Thesis en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search DSpace


Browse

My Account