dc.description.abstract |
Pembebanan hak tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari
rangkaian perbuatan hukum mulai dari akta pemberian hak tanggungan sampai
dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertifikat hak tanggungan dari Kantor
Pertanahan. Namun tidak semua hak atas tanah yang akan dibebankan dengan hak
tanggungan memiliki dokumen kepemilikan yang sempurna. Di dalam prakteknya
seringkali terdapat dalam menjaminkan hak tanggungan dimana si pemberi hak
tanggungan tidak memiliki kewenangan yang mutlak atas objek jaminan tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses pembebanan hak tanggungan atas
tanah warisan yang belum dibagi, untuk mengetahui akibat hukum terhadap objek
hak tanggungan jika debitur wanprestasi, dan untuk mengetahui analisis putusan
Mahkamah Agung Nomor 212 PK/Pdt/2016
Jenis penelitian yang diterapkan adalah penelitian hukum normatif dengan
pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang diambil dari data sekunder yaitu
studi dokumentasi dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan penelitian dapat dipahami bahwa proses pembebanan hak
tanggungan atas tanah warisan yang belum dibagi terlebih dahulu harus ada
persetujuan dari seluruh ahli waris atau nama-nama yang tercantum dalam sertifikat
sebagai pemilik hak atas tanah. Akibat hukum terhadap objek hak tanggungan jika
debitur wanprestasi adalah pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Analisis putusan
Mahkamah Agung Nomor 212 PK/Pdt/2016 menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah salah dalam memberikan amar putusan. Karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mana di dalam Pasal 8
UUHT ditegaskan bahwa si pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan
yang mutlak atas objek hak tangungan yang akan dijaminkan |
en_US |