Abstract:
Gig Economy berkembang pesat seiring peningkatan penetrasi internet,
adopsi teknologi digital, serta preferensi tenaga kerja muda terhadap fleksibilitas
kerja. Namun, selain memberikan peluang kerja baru, fenomena ini juga
menimbulkan tantangan, terutama terkait kestabilan pendapatan dan perlindungan
sosial.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif deskriptif
dengan data sekunder berupa time series (2019–2024) dari BPS, Kemenaker,
APJII, dan World Bank, serta data primer melalui kuesioner berbasis purposive
sampling terhadap 100 responden pekerja gig. Analisis dilakukan menggunakan
regresi OLS dan Structural Equation Modeling (SEM) dengan SmartPLS untuk
menguji hubungan antara variabel makroekonomi (tingkat pengangguran,
pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, inflasi) dan faktor sosial, ekonomi,
teknologi, serta regulasi terhadap penyerapan tenaga kerja di Gig Economy.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pekerja gig di Indonesia
mengalami fluktuasi, dengan puncak pada 2021 sebesar 5,86% terhadap total
angkatan kerja, kemudian menurun hingga 5,27% pada 2023. Analisis OLS
menemukan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan jumlah pekerja gig (p < 0,01), sedangkan variabel lain tidak
signifikan. Hasil SEM menunjukkan bahwa faktor sosial merupakan determinan
utama yang memengaruhi perspektif individu untuk bekerja di Gig Economy (p <
0,01), sementara faktor ekonomi, teknologi, dan regulasi belum berpengaruh
signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa Gig Economy dapat menjadi alternatif
dalam menyerap tenaga kerja muda dan mengurangi pengangguran, namun masih
menghadapi tantangan berupa ketidakpastian pendapatan, kesenjangan
keterampilan, dan lemahnya perlindungan bagi pekerja. Oleh karena itu,
diperlukan kebijakan yang menekankan perlindungan sosial, peningkatan
keterampilan digital, serta regulasi yang adaptif guna mengoptimalkan peran Gig
Economy dalam pembangunan ketenagakerjaan nasional.