Abstract:
Pendahuluan: Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi dan masih menjadi masalah kesehatan yang
signifikan di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Penyakit ini dapat menimbulkan
angka kesakitan tinggi serta beban biaya perawatan yang besar. Penatalaksanaan
demam tifoid meliputi pemberian antibiotik yang tepat, salah satunya
ciprofloxacin dan ceftriaxone. Efektivitas antibiotik diukur melalui indikator lama
rawat inap pasien. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas penggunaan
ciprofloxacin dan ceftriaxone terhadap lama rawat inap pasien demam tifoid di
RSU Haji Kota Medan tahun 2024. Metode: Penelitian ini menggunakan desain
cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif berbasis data sekunder rekam medis
pasien demam tifoid yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel penelitian sebanyak
592 pasien dipilih dengan teknik purposive sampling. Data dianalisis
menggunakan uji Mann-Whitney untuk membandingkan lama rawat inap antara
pasien yang mendapatkan terapi ciprofloxacin dan ceftriaxone. Hasil: Sebagian
besar pasien berusia 21–30 tahun (39,4%) dan berjenis kelamin perempuan
(62,7%). Terapi ceftriaxone digunakan pada 82,4% pasien, sedangkan
ciprofloxacin pada 17,6% pasien. Hasil analisis menunjukkan perbedaan
signifikan lama rawat inap antara kedua kelompok (p<0,001), dengan ceftriaxone
memiliki modus 4 hari dan ciprofloxacin modus 6 hari. Kesimpulan: Penggunaan
ceftriaxone terbukti lebih efektif dalam memperpendek lama rawat inap pasien
demam tifoid dibandingkan ciprofloxacin di RSU Haji Kota Medan. Disarankan
bagi tenaga medis untuk mempertimbangkan ceftriaxone sebagai pilihan utama
terapi antibiotik pada kasus demam tifoid, dengan tetap memperhatikan kondisi
klinis pasien dan potensi resistensi antibiotik.