dc.description.abstract |
Sanksi adat Jeret Naru merupakan bentuk respon komunitas Gayo terhadap
tindak pidana perzinahan yang dinilai mencederai norma agama, adat, dan
kehormatan keluarga. Meskipun Aceh memiliki sistem hukum formal berbasis
syariat Islam melalui Qanun Jinayat, praktik penyelesaian konflik sosial di tingkat
kampung masih mengandalkan hukum adat yang hidup (living law). Penelitian ini
berangkat dari realitas sosial di Kampung Pedekok, Kecamatan Pegasing,
Kabupaten Aceh Tengah, di mana Jeret Naru tetap dijalankan sebagai mekanisme
utama penyelesaian kasus perzinahan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan
kualitatif dan inventarisasi hukum yang hidup dalam masyarakat. Data diperoleh
melalui wawancara dengan tokoh adat, korban, pelaku, serta pengamatan langsung
terhadap proses musyawarah adat. Tujuan penelitian adalah untuk memahami
bagaimana Jeret Naru dijalankan, nilai-nilai apa yang mendasarinya, serta
bagaimana masyarakat menginternalisasi norma tersebut sebagai bagian dari sistem
keadilan restoratif. Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis guna mengungkap
efektivitas dan tantangan penerapan sanksi adat tersebut dalam konteks sosial dan
hukum yang terus berkembang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jeret Naru diterapkan melalui tahapan
pelaporan, musyawarah adat, penetapan denda, serta upaya pemulihan martabat
sosial korban. Masyarakat memandang mekanisme ini lebih efektif dan bermartabat
dibanding jalur formal. Namun demikian, tantangan muncul dalam bentuk
pergeseran nilai generasi muda, lemahnya regulasi kelembagaan adat, serta
ketidaksinkronan dengan hukum positif. Oleh karena itu, diperlukan penguatan
lembaga adat, pencatatan putusan, serta harmonisasi antara hukum adat dan Qanun
Jinayat agar Jeret Naru tetap relevan, sah, dan mampu beradaptasi dalam kerangka
pluralisme hukum di Indonesia. |
en_US |