Abstract:
Perlindungan hukum terhadap orang yang menjadi korban tindak pidana
masih dipandang belum seimbang jika dibandingkan dengan perlindungan
terhadap pelaku tindak pidana. Salah satu hal yang dirasakan sangat diperlukan
oleh orang yang menjadi korban tindak pidana ialah adanya jaminan untuk
memperoleh ganti kerugian atas penderitaannya. Permasalah pokok dalam
penulisan tesis ini ialah bagaimana pengaturan hukum pemberian ganti kerugian
bagi korban tindak pidana penipuan, bagaimana perlindungan hukum pemberian
ganti kerugian bagi korban tindak pidana penipuan di pengadilan negeri medan
dan bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pemberian ganti kerugian bagi
korban tindak pidana penipuan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
penelitian normatif. Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan
sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data
primer dan juga data empiris yang berasal dari responden yaitu mereka yang
menjadi korban penipuan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan masalah ganti
kerugian terhadap korban tindak pidana terdapat di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Pengaturan di dalam KUHP sendiri terdapat di dalam Pasal 14c KUHP,
Pengaturan tentang ganti kerugian ini justru lebih banyak diatur dalam hukum pidana
formil (KUHAP), dapat dilihat dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP dan Pasal 98 - Pasal
101 KUHAP. Bahwa Perlindungan Hukum pemberian ganti kerugian bagi korban
tindak pidana penipuan dapat diupayakan dengan cara Litigasi dan Non Litigasi.
Jalur litigasi dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: melalui Penggabungan
Perkara Ganti Kerugian, melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
melalui Permohonan Restitusi. Jalur non litigasi dapat dilakukan korban dengan
cara meminta langsung ganti kerugian terhadap tersangka, atau dengan kata lain
penyelesaian melalui jalan kekeluargaan. Bahwa Kebijakan Hukum Pidana
terhadap pemberian ganti kerugian bagi korban tindak pidana penipuan dapat ditempuh
melalui Sarana Penal maupun Non Penal. Dimana Pola penyelesaiannya melalui
sarana penal dilakukan oleh petugas penegak hukum dengan melaksanakan tugas
dan fungsinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
melalui sarana non penal dapat ditempuh melalui bantuan pihak ketiga untuk
melaksanakan perundingan.