Abstract:
Analisis wacana kritis (AWK) merupakan salah satu pandangan mengenai bahasa
dalam analisis wacana yang memandang kekuasaan-kekuasaan selalu terlibat pada
pembentukan subjek yang direpresentasikan dalam bahasa. Model AWK yang
digunakan dalam skripsi ini ialah analisis wacana kritis Norman Fairclough.
Analisis wacana kritis yang umumnya menganalisis teks media juga dapat
dilakukan untuk menganalisis karya sastra termasuk cerpen. Cerpen yang
dianalisis dengan analisis wacana Norman Fairclough ini adalah cerpen Jangan
Panggil Aku Katua karya Yulhasni yang tersaji dalam buku Kumpulan Cerpen
Bunga Layu di Bandar Baru tahun 2015 yang diterbitkan oleh Penerbit
Koekoesan. Di dalam analisis wacana Norman Fairclough ini diteliti teks,
discourse practice, dan sociocultural practice. Melalui metode deskriptif akhirnya
ketiga aspek analisis wacana Norman Fairclough tersebut dapat terjawab. Pada
bagian teks peneliti dapat menemukan tiga elemen dasar dalam model Norman
Fairclough, yakni unsur representasi, relasi dan identitas dalam cerpen Jangan
Panggil Aku Katua. Pada unsur representasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu
representasi dalam anak kalimat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu kosakata
(vocabulary) dan tatabahasa (grammar) yang menampilkan bagaimana anak
kalimat di dalam cerpen menggambarkan suatu realitas dan bagaimana anak
kalimat dalam cerpen menampilkan sosok Katua selaku aktor sebagai korban
pemberitaan ataupun sebagai penyebab, representasi dalam kombinasi anak
kalimat yang terbagi atas bentuk elaborasi, perpanjangan dan mempertinggi yang
menampilkan anak kalimat dalam cerpen yang menimbulkan makna koherensi
atau mengandung ideologi pada anak kalimat tersebut serta representasi dalam
rangkaian antarkalimat yang terdiri dari kalimat dalam cerpen Jangan Panggil
Aku Katua yang digabung sehingga didapat anak kalimat yang lebih menonjol
dan menghasilkan makna dan reaksi. Pada unsur relasi teks meneliti pihak-pihak
yang berhubungan dengan Katua dalam cerpen Jangan Panggil Aku Katua. Pada
unsur identitas teks meneliti tentang bagaimana situasi pembaca jika diposisikan
pada tokoh Katua dan seorang pria muda dalam cerpen Jangan Panggil Aku
Katua. Pada bagian discourse practice meneliti proses produksi dan konsumsi
teks cerpen yang terbias dari profesi dan konteks kehidupan Yulhasni sebagai
pengarang serta pandangannya sehingga cerpen ini dihadirkan. Pada bagian
sociocultural practice terbagi menjadi tiga level yakni situasional, institusional,
dan sosial yang meneliti bagaimana kesesuaian situasi dan keterkaitan antara
sistem kultur pada konteks dan latar dalam cerpen yang merupakan kota Medan
dan penggunaan kata „Katua‟ sebagai sebutan untuk seseorang yang dianggap
sebagai pemimpin dengan konteks dan latar di kota Medan yang sesungguhnya.