Abstract:
Latar Belakang: Rhinosinusitis kronis didefinisikan oleh adanya dua dari empat gejala kardinal (yaitu, nyeri/tekanan wajah, hiposmia/anosmia, drainase hidung, dan sumbatan hidung) selama setidaknya 12 minggu berturut-turut. Tingginya angka kejadian Rhinosinusitis Kronis menuntut diperlukannya metode yang tepat, cepat dan efisien untuk menegakkan diagnosisnya. Meskipun CT Scan Sinus Paranasal merupakan gold standard dalam mendiagnosis rhinosinusitis kronis, namun biaya yang tidak murah, ketersediaan alat,kualitas alat serta sumber daya untuk melakukannya masih tidak merata terutama pada layanan fasilitas kesehatan primer. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross-sectional study) dengan metode pengambilan sampel non-probabilitas consecutive sampling.Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 25 subjek. Sampel penelitian adalah penderita rhinosinusitis kronis yang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data primer yang dikumpulkan meliputi hasil pemeriksaan dipstik sekret hidung, sedangkan data sekunder meliputi umur dan jenis kelamin pasien. Hasil: Dari 25 subjek penelitian didapatkan distribusi kelompok usia terbanyak adalah 17-25 tahun (32%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (84%), Derajat Keasaman (pH) terbanyak adalah 6 (48%), Protein terbanyak adalah Negatif (44%), Leukosit esterase terbanyak adalah Positif 2 (48%), Nitrit terbanyak adalah Positif (56%) dan parameter dipstick test dengan tingkat akurasi tertinggi adalah Derajat Keasaman (pH). Kesimpulan: Sensitivitas, spesifitas, positive predict value, negative predict value dan akurasi dari dipstik test masih rendah jika dibandingkan dengan CT scan yang menjadi gold standard dalam menegakkan rhinosinusitis.