dc.description.abstract |
Saat ini hukum pidana Indonesia belum mengatur tentang kekuatan
bukti elektronik pada proses pembuktian di persidangan. Keberadaan data
elektronik sebagai alat bukti dipersidangan masih dipertanyakan menjadi
perdebatan dan belum sepenuhnya bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Belum adanya Undang undang yang mengatur teknis penilaian bukti
elektronik, maka Hakim diharapkan mampu menentukan teknis penilaian
terhadap kekuatan bukti elektronik. Dalam perkara Tindak Pidana Umum,
ketentuan mengenai alat bukti elektronik belum diatur secara khusus dalam
KUHAP, sehingga Hakim harusmelakukan penemuan hukum untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan Undang undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, sehungga
Hakim dapat menggunakan metode argumentasi karena KUHAP belum
mengatur secara khusus mengenai ketentuan bukti elektronik. Dalam hukum
pembuktian pidana di Indonesia, secara yuridis belum mengakomodasikan
dokumen atau informasi dalam bentuk elektronik sebagai alat bukti dalam
penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Di masa lalu alat bukti yang dapat
diterima di pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materill,
yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba sesuai Pasal 184 KUHAP, alat
bukti yang diperkenankan dalam Hukum Acara Pidana yaitu Keterangan
Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa. Secara
tertulis seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak
mengakomodir alat bukti elektronik.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris
yang didukung bahan hukum normatif. Penelitian ini bersifat deskriftif
analisis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber
dari data primer atau penelitian langsung di lapangan dan sekunder yang
diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier, melalui pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu analisis data kualitatif.
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini diantaranya,
Pengaturan hukum dokumen elektronik terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dokumen elektronik adalah salah satu bentuk dalam pembaruan
hukum acara perdata Indonesia.
Kekuatan pembuktian alat bukti dokumen elektronik dalam proses
pembuktian perkara perdata di pengadilan dari aspek yuridis-normatif telah diakui
sebagai alat bukti secara sah dan tegas dalam praktik hukum acara yang berlaku di
pengadilan. Kehadiran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagai bentuk
penegasan (legitimasi), diakuinya Informasi elektronik dan/atau Dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah secara hukum,
serta merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia, sepanjang Informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat menerangkan
suatu keadaan.
Kelemahan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik
yaitu, meskipun sudah banyak peraturan perundangan di Indonesia yang
mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, bahkan Mahkamah
Agung (MA) sudah mengakuinya sejak 1988. Namun nilai pembuktian data
elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan
validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik
sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Kebutuhan bukti
elektronik sudah secara tegas diatur dalam undang-undang ITE memberikan dasar
hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan
materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di pengadilan. |
en_US |