dc.description.abstract |
Penetapan Setya Novanto berdasarkan Surat Nomor 310/23/07/2017
tanggal 18 Juli 2017 yang dikeluarkan oleh penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam Putusan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel dinyatakan tidak sah.
Adapun pertimbangan dalam putusan tersebut karena, penetapan Setya Novanto
sebagai tersangka dilakukan pada awal penyidikan dan tanpa dilakukan
penyidikan terlebih dahulu, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka sesuai
dengan bukti dalam perkara Terdakwa Irman dan Sugiharto dalam perkara E-KTP
dengan Putusan Pegadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
41/Pid.Sus/Tpk/2017/Pn.Jkt.Pst. Sementara berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 42/PUU-XV/2017 penggunaan alat bukti yang sudah digunakan
dalam perkara orang lain itu diperbolehkan sepanjang disempurnakan oleh
penyidik sehingga dianggap sebagai bukti baru.
Jenis penelitian ini adalah Yuridis Normatif dengan sifat deskriptif
analitis. Adapun metode pendekatan menggunakan pendekatan perundang undangan (statuteapproach), pendekatan konsep (conceptualapproach). Sumber
data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan (libraryresearch) dan alat pengumpul data dilakukan dengan studi
dokumen. Lalu data dianalisis secara kualitatif dengan metode penarikan
kesimpulan deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dipahami bahwa Pengaturan mengenai
peneetapan seseorang menjadi tersangka berdasarkan alat bukti yang sudah
digunakan dalam perkara lain secara hukum tidak ditemukan secara gamblang.
Namun, penetapan tersangka harus berdasarkan pada bukti permulaan yang
cukup, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP Jo. Pasal 66 ayat
(1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009. Namun pengaturan
mengenai alat bukti tersebut merupakan alat bukti yang sudah digunakan dalam
perkara lain menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
diperbolehkan sepanjang disempurnakan kembali oleh penyidik alat bukti
sebelumnya sehingga alat bukti tersebut menjadi alat bukti yang baru. Akibat
hukum penetapan tersangka dengan alat bukti yang sudah digunakan dalam
perkara lain adalah telah melanggar Ne Bis In Idem sebuah istilah yang terdapat
dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas ini
*Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara
ii
dipahami bahwa seseorang tidak boleh diadili dua kali untuk perkara yang sama.
“Penetapan tersangka tidak sah dan tidak berdasar hukum karena yang menjadi
dasar penetapan adalah objek sama, subjek sama, proses sama, barang bukti sama
serta sangkaan pasal tindak pidana yang sama”. Analisis Putusan Nomor 97/Pid.
Prap/2017/PN.Jkt.Sel) adalah Berdasarkan putusan praperadilan no.
97/pid.prap/2017/pn.jkt.sel ini bahwa atas pertimbanagn Hakim Cepi Iskandar
akan ada kemungkinan menjadi yurisprudensi baru. Jika dibuat yurisprudensi
baru, maka dalam menyelesaikan perkara pidana dengan penyertaan seperti
korupsi dimana keterangan tersangka nantinya tidak dapat dijadikan
pengembangan penyidikan berikutnya bagi tersangka yang lain. Itu akan menjadi
konsekuensi. |
en_US |