Research Repository

Kepastian hukum pelaksanaan perkawinan tanpa persetujuan calon mempelai wanita

Show simple item record

dc.contributor.author Sembiring, Lya Agusna
dc.date.accessioned 2020-03-03T07:15:31Z
dc.date.available 2020-03-03T07:15:31Z
dc.date.issued 2019
dc.identifier.uri http://repository.umsu.ac.id/handle/123456789/1747
dc.description.abstract Menurut beberapa pendapat ulama fikih bahwa orang tua atau wali dapat menikahkan anak perempuannya secara paksa yang kemudian dikenal dengan nama hak ijbar dan orang tua yang dapat memaksa anak untuk kawin dikenal dengan nama wali mujbir. Kenyataannya untuk zaman sekarang masih ada orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin dengan laki-laki lain pilihan ayahnya tersebut. Putusan Hakim PA Jakarta Pusat Nomor 164/Pdt.G/PAJP menyatakan bahwa perceraian antara Penggugat dan Penggugat bukan pembatalan perkawinan. Padahal menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam jika terjadi pemaksaan untuk menikah maka yang terjadi adalah pembatalan perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang mengarah pada penelitian hukum normatif, dengan pendekatan penelitian terhadap asas hukum. Alat pengumpul data diperoleh dari data sekunder yaitu dengan dengan cara studi pustaka (library research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kepastian hukum syarat perkawinan yang terkait dengan persetujuan mempelai wanita ketika dijodohkan oleh walinya, mutlak harus ada. Kajian-kajian fikih ternyata tidaklah absurd untuk memberikan hak ijbar kepada wali untuk menikahkan anak perempuannya tanpa persetujuan anak tersebut. Bahwa Akibat hukum perkawinan tanpa persetujuan calon mempelai wanitakawin dengan unsur paksaan dianggap tidak baik, karena dalam perkawinan yang dilakukan mengandung unsur paksaan hanya akan mendatangkan kemadharatan bagi kedua belah pihak (suami manupun isteri). Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan karena ada paksaan dapat dibatalkan. Bahwa pelaksanaan perkawinan tanpa persetujuan calon mempelai wanita dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 164/Pdt.G/2010/PAJP, seharusnya dilakukan pembatalan perkawinan apabila masih dalam masa di izinkannya pengajuan pembatalan perkawinan yaitu 6 (enam) bulan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dikarenakan sudah lewatnya masa tersebut maka dikabulkannya putusan perceraian sesuai dengan isi gugatan si Penggugat yaitu perceraian. Padahal pokok alasan sebenarnya Penggugat menggugat Tergugat adalah karena perkawinan tersebut dilakukan terindikasi adanya rasa terpaksa dan dipaksa oleh orang tua Penggugat. en_US
dc.subject kepastian hukum en_US
dc.subject perkawinan en_US
dc.subject izin en_US
dc.subject mempelai wanita en_US
dc.title Kepastian hukum pelaksanaan perkawinan tanpa persetujuan calon mempelai wanita en_US
dc.type Thesis en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search DSpace


Browse

My Account